Jangan Menjadi Lilin

“Perumpamaan orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia sedang dia melupakan dirinya sendiri seperti lentera yang menerangi manusia tapi membakar dirinya sendiri.” (h.r. Thabrani, hadits hasan. Menurut Nashiruddin Al Albaniy hadits ini shahih, STT, 1/128).

Jangan jadi lilin, sobat Ini pesan singkat tapi sarat makna dan padat inspirasi. Lilin hanya dibutuhkan kalau perlu, bila listrik PLN mati, begitu bagi negeri kaya raya yang sering mati lampu.

Allah Azza wa Jalla telah memperingatkan dengan keras agar kita tidak menjadi orang-orang yang pintar menyuruh orang lain tapi melupakan diri sendiri. Allah berfirman,

“Apakah kamu menyuruh manusia untuk berbuat baik dan engkau lupakan dirimu sendiri, padahal engkau telah membaca Al Kitab, apakah kamu tidak berfikir?” (q.sAl Baqarah : 44)

Ayat ini berkenaan dengan orang-orang ahlul kitab yang hanya suka menyuruh dan menyuruh orang lain pada kebaikan, namun mereka melupakan memperbaiki dirinya sendiri. Namun, sesuai kaidah al ibrah bi umumil lafadz laa bi khushusis sabaab … pelajaran diambil dari umumnya lafadz bukan khususnya sebab, maka maksud ayat ini berlaku juga buat manusia pada umumnya, kaum muslim dan mukmin, lebih-lebih para da’i dan murabbi.

“Wahai orang-orang yang beriman, mengapakah engkau mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan. Amat besar kemurkaan di sisi Allah apabila kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat.” (q.s. As Shaff : 2)

Dua ayat di atas sudah sangat untuk menjadi warning bagi kaum muslimin agar selalu melakukan perbaikan diri(tarbiyah dzatiyah) secara terus menerus, melakukan perubahan dan sekaligus menjadi teladan di tengah umat. Tapi bukan menjadi lilin yang menerangi sementara dirinya terbakar habis. Rasulullah saw juga memperingatkan dalam sabdanya,

“Perumpamaan orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia sedang dia melupakan dirinya sendiri seperti lentera yang menerangi manusia tapi membakar dirinya sendiri.” (HR Thabrani, hadits hasan. Menurut Nashiruddin Al Albaniy hadits ini shahih, STT, 1/128).

Bulan Ramadhan begitu istimewa. Mengapa? Karena banyak da’i baru yang tampil dengan segala mutu, dari berbagai cabang ilmu dan mengalir aneka tafsir. Bila tak hati-hati akan banyak silang sengketa pemaknaan agama yang beraneka warna dan rasa. Nah, dinamika ini menjadi menarik agar para da’i Ramadhan benar-benar menjadikan kegiatan kultum dan kulkas bahkan kultwit menjadi tarbiyah dzatiyah bagi dirinya. Artinya tak lagi “momentum lilin” yang tiba-tiba menyala lalu membakar dirinya begitu bulan Ramadhan selesai maka keshalihannya pun selesai begitu saja.

Tak ada perubahan besar yang terjadi secara tiba-tiba.sering kali, ia dimulai dari sesuatu yang sangat sederhana. Maka ubahlah dirimu, niscaya engkau telah mengambil bagian dalam mengubah dunia dan peradaban. Empat belas abad silam, Rasulullah saw pun telah mengingatkan, ibda’ binafsik (mulailah segala sesuatu itu dari dirimu sendiri).

Imam Asy Syahid Hasan Al Banna juga menegaskan pentingnya hal ini sebagaimana ungkapan beliau, “ashlih nafsaka wad’u ghairaka… perbaikilah dirimu sendiri kemudian serulah orang lain.” Beliau juga menerangkan bahwa orang yang tidak memiliki sesuatu maka tak bisa memberikan apapu pada orang lain, faqidusy syai’ laa yu’tiih.

Pembinaan pribadi dan keluarga adalah dua hal yang sering terlupakan dalam upaya kita menegakkan nilai-nilai islam di negeri ini. Pada hal sudah diketahui umum, bahwa sebuah masyarakat itu dibangun dari kumpulan individu dan keluarga.

Nah, bila kita menginginkan dan mengharapkan perubahan besar negeri ini, pemimpinnya, masyarakatnya, maka kitalah yang harus memulai perubahan itu agar menjadi pelaku dan pelopor kebaikan. “Kita harus menjadi penggembala ilmu bukan sekadar perawi ilmu.” Begitu pesan mendalam para ulama agar kita tidak lagi jarkoni, ngajarke ning tidak ngelakoni alias dakwah omong doing. Dakwah akan efektif bila dimulai dengan keteladanan, lebih proofen. Diikuti karena diakui. Qudwah qobla dakwah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *